Sebagai mana dikutip di Forbes, sebuah survey yang melibatkan 5.000 karyawan full-time menemukan bahwa 96% responden menyatakan lebih menyukai perusahaan yang benar-benar memprioritaskan kesejahteraan karyawannya. Ini menjadi pertimbangan penting bagi mereka saat mencari peluang pekerjaan. Meskipun semakin banyak tuntutan agar perusahaan memfokuskan perhatian pada upaya menciptakan keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan sebagai bagian dari kesejahteraan karyawan, kita juga masih menemukan hal sebaliknya. Masih banyak yang berpandangan bahwa kita harus bekerja lebih lama dengan intensitas lebih tinggi jika ingin sukses.
Bahkan, Elon Musk dan CEO WayFair baru-baru ini dikabarkan mengirimkan pesan email kepada staf-nya bahwa bekerja keras adalah kunci untuk sukses. Tidak heran jika kedua CEO ternama dunia ini mendapat sorotan akibat sentimen tersebut. Memaksa karyawan bekerja 60 hingga 80 jam per minggu kerap dikaitkan dengan trauma dan stress di tempat kerja. Fakta ini juga menunjukkan bahwa sekalipun aspek keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan mendapat semakin banyak perhatian akhir-akhir ini, masih banyak pimpinan di tingkat atas justru percaya bahwa kesejahteraan karyawan sejalan dengan profitabilitas perusahaan.
Pertanyaan Penting Seputar Keseimbangan Kehidupan Pribadi dan Pekerjaan
Muncul suatu pertanyaan penting, “Apakah keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan bisa benar-benar diwujudkan? Dan apakah kesejahteraan dan produktivitas karyawan berjalan beriringan dalam situasi ekonomi saat ini? Cobalah jawab beberapa pertanyaan berikut:
Apa Masalahnya dengan Kesejahteraan Karyawan?
Riset menunjukkan bahwa perusahaan yang tidak memprioritaskan kesejahteraan karyawan pada akhirnya akan menerima dampaknya dalam jangka panjang. Efek yang terlihat antara lain penurunan semangat kerja, tingkat ketidakhadiran yang tinggi, dan tingginya klaim asuransi akibat masalah kesehatan. Menurut McKinsey, stress yang tidak ditangani dengan tepat dan isu kesehatan pada karyawan bisa menyebabkan tingginya angka ketidakhadiran, dan mengurangi produktivitas. Hal ini berdampak pada kerugian bagi perusahaan.
Selanjutnya, tingkat stress yang tinggi di tempat kerja berpengaruh terhadap meningkatnya klaim asuransi, serta kenaikan premi asuransi. Hal ini ditekankan dalam sebuah laporan yang dikeluarkan oleh American Institute of Stress, di mana sekitar 40% klaim kompensasi karyawan bisa dikaitkan langsung dengan tingkat stress yang lebih tinggi.
Membangun suatu budaya yang memprioritaskan kesehatan mental dan fisik karyawan dapat membantu meminimalkan resiko bisnis serta membawa sejumlah hasil positif, di antaranya, berkurangnya tingkat ketidakhadiran karyawan.Ketika karyawan sehat, baik secara fisik dan mental, kemungkinan untuk mereka mengambil cuti karena sakit tentunya akan turun. Angkatan kerja yang didukung penuh oleh perusahaan menunjukkan tingkat interaksi dan kinerja yang lebih baik.
Apakah ada Media Yang Sehat di Perusahaan?
Bayangkan kondisi ketika seseorang mengalami stress secara personal dan pada saat yang sama, pendirinya merasa khawatir dengan kinerja perusahaan saat ini. Artinya, terdapat suatu media yang sehat – yakni, suatu cara untuk menang di dua sisi, baik dari sisi produktivitas dan dari sisi kesejahteraan. Dengan kata lain, kesejahteraan karyawan bisa jadi selaras dengan realita pasar, namun hanya jika para pemimpinnya memiliki pola pikir yang lebih fleksibel tentang produktivitas dan kesejahteraan karyawan.
Bagi pemula, tingkat produktivitas tidak sebanding dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat kerja. Produktivitas tidak juga terikat hanya di tempat kerja. Banyak karyawan yang terbukti sangat produktif ketika bekerja 40 jam seminggu dan tidak harus bekerja lembur. Pada saat yang sama, karyawan saat ini jauh lebih mahir dalam menemukan ruang-ruang waktu untuk mengoptimalkan produktivitasnya, meskipun di luar jam kerja resmi.
Kebiasaan bekerja seringkali bergantung pada fungsi kerja seseorang. Ilmuwan data, teknisi dan desainer, misalnya, membutuhkan waktu untuk bekerja tanpa gangguan. Mereka merasa bisa bekerja paling produktif setelah berakhirnya jam kerja normal, karena mereka bisa berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya ketika tidak ada rapat. Kesejahteraan dan produktivitas tentunya tidak sama bagi semua orang. Setiap orang memiliki gaya dan standar yang berbeda.
Bisakah Produktivitas dan Kesejahteraan Pegawai Diseimbangkan?
Ketika seseorang memiliki gaya hidup yang lebih sehat, biasanya ia memiliki fokus dan tingkat produktivitas yang lebih baik. Di sinilah pentingnya keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan, dan lingkungan kerja yang memprioritaskan kebahagiaan karyawannya. Misalnya, ada karyawan yaang menyisipkan waktu olah raga selama istirahat siang atau melakukan rapat kilat, sehingga mereka bisa fokus bekerja setelah makan siang. Pemimpin bisa memberikan dukungan kepada karyawan dengan mendorong karyawan beristirahat sejenak, melakukan olah raga, dan praktek mediasi.
Jadwal kerja yang fleksibel juga dapat mendorong peningkatan produktivitas karyawan, karena karyawan bisa bekerja di waktu-waktu yang paling cocok menurut mereka, yakni waktu di mana energi dan konsentrasi mereka penuh. Mendorong dan mengakui gaya kerja yang bervariasi diyakini dapat berkontribusi terhadap kepuasan dan kebahagiaan karyawan. Anda bisa memanfaatkan teknologi untuk memantau, memprediksi, dan merancang sistem untuk memfokuskan perhatian dan meningkatkan produktivitas anda sepanjang hari. Misalnya, anda bisa menggunakan alat ukur titik data vital, seperti denyut jantung, jumlah langkah harian, dan kualitas tidur. Dengan ini semua, maka keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan bukan lagi impian, bukan?
Tagged With : manajemen bisnis • manajemen SDM