Istilah Commodity Supercycle semakin sering terdengar dalam ulasan media massa belakangan ini. Konon, siklus super ini dapat menjadi peluang emas bagi para investor saham dan komoditas. Benarkah demikian? Pertama-tama, kita perlu mengenal apa itu Commodity Supercycle terlebih dahulu.
Mengenal Commodity Supercycle
Perekonomian dunia terus menerus berubah-ubah dalam siklus yang silih berganti antara pertumbuhan sampai resesi. Setiap siklus ekonomi terdiri atas empat tahap, yakni ekspansi, puncak, kontraksi (resesi), dan lembah yang diiringi oleh ekspansi lagi untuk memasuki siklus berikutnya.
Satu siklus ekonomi biasanya berlangsung rata-rata 5 tahunan, atau antara 18 bulan sampai sekitar satu dekade. Berkaitan dengan konteks tersebut, suatu “supercycle” atau “siklus super” merupakan siklus ekonomi yang berlangsung lebih lama daripada biasanya lantaran pertumbuhan permintaan atas barang dan jasa yang sangat kuat. Demikian pula dengan “Commodity Supercycle”.
Commodity Supercycle adalah suatu periode ketika terjadi kenaikan permintaan berkepanjangan atas bahan baku, komoditas energi, dan produk manufaktur yang digerakkan oleh supercycle dalam perekonomian yang lebih luas. Para pelaku pasar kesulitan mencocokkan pasokan dengan permintaan, sehingga harga komoditas sangat volatile dalam masa-masa ini. Beberapa komoditas yang biasanya menjadi sorotan antara lain bijih besi, tembaga, aluminium, minyak mentah, batu bara, dan gas alam.
Suatu Commodity Supercycle dapat berlangsung selama lebih dari satu dekade, yaitu antara 15-20 tahun. Beberapa contoh Commodity Supercycle dalam sejarah antara lain era industrialisasi AS pada akhir abad ke-19 dan rekonstruksi Eropa dan Jepang pasca Perang Dunia II.
Setiap periode tersebut ditandai oleh kelangkaan pasokan dan/atau peningkatan permintaan yang mendorong kenaikan harga-harga komoditas, kemudian disusul oleh upaya para produsen untuk memenuhi permintaan dengan meningkatkan kapasitas produksi. Upaya peningkatan produksi itu tidak mudah, sehingga dapat berlangsung selama beberapa tahun. Setelah kapasitas produksi meningkat, permintaan justru memasuki fase penurunan. Pada akhirnya, kelangkaan berubah menjadi surplus pasokan dan kemudian berujung pada kejatuhan harga-harga komoditas.
Apakah Kita Sedang Mengalami Commodity Supercycle Saat Ini?
Sebagian analis menilai kita sedang mengalami Commodity Supercycle saat ini. Dua faktor utama menggerakkan siklus super saat ini, yakni pemulihan global pasca pandemi COVID-19 dan modernisasi infrastruktur.
“Ada kenaikan siklikal dalam harga beberapa komoditas seiring pulihnya perekonomian global dari jurang pandemi, dengan harga energi yang sangat tinggi menghiasi tajuk berita,” kata Laith Khalaf, kepala analisis investasi di AJ Bell, “Ke depan, bisa jadi ada (pula) alasan di luar pemulihan ekonomi yang memicu kenaikan harga komoditas –khususnya belanja pemerintah dan infrastruktur dan pergeseran ke bentuk energi alternatif dan transportasi yang ramah lingkungan.”
Ekspektasi tersebut mendorong banyak investor untuk menanamkan modal dalam sektor terkait, serta memborong saham komoditas. Namun, tak semua analis sepakat. Sejumlah analis berpendapat masih terlalu dini untuk mengidentifikasi Commodity Supercycle saat ini, karena harga-harga komoditas belum tentu bertahan lama di atas rata-rata jangka panjang. Ada pula yang ragu kalau pemulihan pasca-pandemi dan pembangunan green infrastructure saja cukup untuk memicu sebuah Commodity Supercycle.
Tagged With : analisa fundamental • investasi jangka panjang • komoditas • minyak