Sistem Kerja Hybrid: Kelemahan Yang Harus Diantisipasi – Part 2

Pada post sebelumnya, dibahas beberapa potensi kelemahan dari sistem kerja hybrid. Di antaranya adalah potensi terjadinya perlakuan tidak adil antara karyawan yang bekerja di kantor dan bekerja di rumah. Selain itu, diperlukan investasi yang tidak sedikit, mulai dari perlengkapan kerja hingga keamanan cyber. Masalah lainnya adalah sulitnya mengatur sistem dan waktu kerja antar anggota tim yang bekerja berjauhan. Selain itu, masih ada sejumlah kelemahan yang harus di antisipasi dari sistem kerja yang baru ini.

Kelemahan Potensial Sistem Kerja Hybrid

Kurangnya Ikatan Sosial

Aspek sosial juga perlu menjadi pertimbangan. Para ahli mengatakan bahwa bekerja di kantor dapat membantu membangun kerjasama kolaboratif dengan rekan kerja. Perasaan seperti keterkaitan dengan tim (baik yang bekerja di kantor maupun di rumah) bisa mempengaruhi kinerja anda. Misalnya, sebuah survey yang dilaksanakan pada tahun 2020 terhadap lebih dari 12.000 pekerja di Amerika Serikat, Jerman, dan India menunjukkan bahwa pekerja yang secara sosial tidak merasa terkait dengan teman kerjanya  selama pandemi ternyata kurang produktif di bidang tugas yang membutuhkan kerjasama (kolaboratif), dibanding sebelum pandemi.

sistem kerja hybrid Part 2

Karyawan yang bekerja dari rumah mungkin sering merasa ‘ditinggal’. Oleh sebab itu, para peneliti merekomendasikan bahwa sistem kerja hybrid harus tetap diatur sedemikian rupa, sehingga ada waktu di mana seluruh karyawan harus ‘muncul’ pada saat yang sama, misalnya di pagi hari. Hal ini terutama penting bagi anggota yang bekerja dalam satu kelompok.

Isu Keadilan

Satu lagi isu jangka panjang yang mungkin terkait dengan sistem kerja hybrid adalah masalah keadilan. Presenteism adalah penilaian kinerja yang berorientasi pada kehadiran.  Ini adalah sebuah kekuatan besar, sehingga ada kekhawatiran bahwa pekerja yang hadir langsung di kantor mendapat keuntungan karena lebih sering bertemu, bertatap muka, dengan manajer. Hal ini dapat mempengaruhi peluang promosi dan kenaikan gaji.

Mereka yang hadir di kantor tentunya lebih mudah dilihat. Mereka menghabiskan waktu dan energi untuk datang ke kantor, dan pimpinan tentu menghargai itu. Isu tentang kehadiran dan absenteisme bukan hal baru di dunia kerja. Sayangnya, model hybrid bisa saja memperburuk segalanya, karena pekerja mencoba membuktikan komitmen mereka, baik secara langsung maupun dari rumah.

Faktanya, 54% pekerja di Britain melaporkan bahwa mereka merasa harus datang ke kantor selama pandemi (meskipun atasan meminta mereka untuk tetap di rumah). Sementara itu, rata-rata jam kerja juga meningkat 30 menit selama pandemi, karena pekerja yang berada di rumah justru lebih lama logged on di perangkat kerja mereka.

Smets dari Oxford University percaya bahwa suatu sistem, di mana pekerja bisa memilih untuk tampil lebih sering daripada orang lain, bisa menciptakan “artificial siloes and cliques”. Artinya, para manajer dihadapkan pada tantangan untuk bertindak profesional dan menilai secara objektif, bukan hanya karena tingkat kehadiran yang lebih tinggi di kantor. Kuncinya adalah membangun empati untuk situasi-situasi di mana staf bekerja dari rumah dan membangun kepercayaan untuk menggunakan data perusahaan dengan penuh tanggung jawab.

Kebutuhan Yang Berbeda-Beda

Tiap kelompok penduduk yang berbeda tentunya memiliki kebutuhan yang berbeda-beda pula. Sebenarnya, siapa yang hadir di kantor dan siapa yang tidak, bukanlah masalah ambisi. Karena berbagai alasan, akan sekelompok karyawan yang lebih menyukai sistem kerja tertentu, dan hal ini dapat mempengaruhi dinamika kantor. Misalnya, bekerja dari rumah mungkin menjadi pilihan bagi orang tua yang memerlukan fleksibilitas karena ada anggota keluarga yang harus dijaga di rumah.

Kondisi seperti ini khususnya terjadi pada pekerja wanita, yang harus memikul tanggung jawab yang tidak seimbang antara pekerja dan tanggung jawab mengasuh anak dan pekerjaan rumah tangga. Tidak heran jika banyak wanita yang memilih bekerja di rumah. Namun, para ahli memperingatkan bahwa fenomena ini bisa saja memicu suatu situasi, di mana pria menjadi sangat dominan di kantor. Pada kondisi terburuk, bisa jadi wanita diperlakukan sebagai ‘warga’ kelas dua di kantor.

Satu lagi kelompok yang mungkin memiliki kebutuhan khusus terkait tempat kerja adalah pekerja muda. Data statistik menunjukkan bahwa pekerja muda berpeluang lebih kecil untuk memiliki tempat kerja yang bagus di rumah. Mereka bisa jadi bekerja di atas tempat tidur, atau bekerja di satu kamar asrama yang digunakan bersamaan dengan beberapa teman. Bisa jadi, mereka masih berstatus mahasiswa, dan besar kemungkinan mereka tidak hadir di sesi-sesi mentor yang sebenarnya sangat penting di awal karir mereka.

Kesimpulan: Perlu Kehati-Hatian

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa sistem kerja hybrid belum bisa diterapkan dengan baik. Namun, para ahli tetap memperingatkan bahwa jika tidak diterapkan dengan sangat hati-hati, maka sistem hybrid bisa jadi menimbulkan malapetaka  bagi kinerja perusahaan. Namun, jika dilakukan dengan baik, maka sistem kerja hybrid berpotensi menawarkan fleksibilitas yang sangat dibutuhkan, sehingga perusahaan bisa menarik partisipasi dari angkatan kerja yang lebih beranekaragam.

Tagged With :

Leave a Comment