Memahami Fenomena Quiet Quitting dan Cara Mengakhirinya

Dalam satu atau dua tahun belakangan ini, manajemen sumber daya manusia menjadi suatu isu yang berat di banyak perusahaan. Fenomena quiet quitting menjadi salah satu topik pembicaraan yang hangat belakangan ini. Muncul suatu trend di mana karyawan bekerja minimal selama hari kerja, dan tidak berkeinginan untuk bekerja dan berkarya secara maksimal. Meskipun trend ini cukup mengganggu, kita juga mesti melihat secara objektif beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya fenomena ini.

Segalanya berbeda sejak Covid 2019 melanda. Kehidupan manusia berubah, situasi pekerjaan juga berubah, dan bahkan, cara kita berinteraksi juga berubah. Akibatnya, kita harus menggunakan pendekatan yang berbeda terhadap segala sesuatunya. Jika kita melihat ini secara dekat, maka kita akan memahami penyebab dari fenomena ini.  Fenomena quiet quitting lebih buruk daripada berhenti dari pekerjaan, bukan hanya di pihak perusahaan namun juga di pihak karyawan sendiri.

fenomena quiet quitting 2

Fenomena Quiet Quitting dan Maknanya

Quiet Quitting Merugikan Perusahaan dan Karyawan

Di pihak perusahaan, fenomena ini menunjukkan bahwa perusahaan membayar gaji besar bagi orang-orang yang tidak produktif dan bekerja apa adanya. Di pihak karyawan sendiri, quiet quitting berarti bahwa mereka sendiri sedang berjuang untuk menemukan makna dari pekerjaannya. Kita berada di satu titik, di mana pekerjaan itu tidak lagi berarti bagi karyawan. Mereka lelah menjadi seorang karyawan, sementara jiwanya tidak berada di sana.

Trend ini tidak hanya ‘melukai’ pemberi kerja,  namun juga membuat kita sadar kenapa lingkungan kerja ‘tradisional’ sebenarnya tidak lagi relevan. Kita semua ingin mengerjakan sesuatu yang bisa dinikmati setiap hari sebagai sumber mata pencaharian. Bagi sebagian, pilihannya adalah menjadi pengusaha, anak-anak, dan pekerjaan di media sosial. Bagi sebagian lagi, mereka sebenarnya tidak menikmati apa yang mereka kerjakan di kantor. Quiet quitting berarti bahwa pekerja tidak lagi antusias dengan pekerjaannya.

Baca Juga:   Jenis-Jenis Budaya Organisasi: Part 1 – Definisi dan Klasifikasi Utama

Fenomena quiet quitting belum begitu terlihat gerakannya sebelum Covid-19 melanda. Satu hal yang perlu diketahui tentang trend ini mengingatkan kita pada suatu situasi ekonomi, di mana kita terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan, dan pada akhirnya membawa kita pada suatu kondisi, di mana masyarakat merasa semakin kesulitan untuk menemukan mata pencaharian yang mereka sukai. Untuk memutus pola quiet quitting ini, maka inilah saatnya mengejar apa yang anda sukai, sehingga anda tidak pergi ke kantor hanya semata-mata untuk mendapatkan gaji.

Kita Yang Memilih Cara Mengundurkan Diri

Anda mungkin pernah memiliki pengalaman berhenti dari sebuah pekerjaan atau mundur dari sebuah hubungan. Anda keluar dari situasi itu dengan cara sendiri. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, ketahuilah bahwa jika anda memilih keluar dari sebuah pekerjaan atau mengakhiri sebuah hubungan, berarti itu adalah sebuah pertanda bagi anda. Ada sesuatu yang mesti dilakukan, dan jika anda tidak bisa melakukannya sekarang, maka mulailah menyusun rencana.

Jika anda tidak bisa menikmati keseharian, berarti apaa yang anda kerjakan tidak ada nilainya bagi anda. Jika anda adalah seorang pemimpin dan melihat karyawan anda mengundurkan diri, maka ini adalah peluang yang baik bagi anda untuk melakukan evaluasi dan perbaikan. Sebagai seorang boss, anda mungkin saja mempekerjakan seorang quiet quitter. Pasar tenaga kerja memang tidak lagi seperti dulu. Namun, anda harus keluar dari ‘permainan’ ini dengan memfokuskan perhatian pada dua hal:

  • Membangun suatu budaya organisasi yang membuat orang lain betah;
  • Merekrut karyawan berdasarkan karakter tertentu.

Keduanya tidak mudah pastinya, namun perusahaan perlu memperhatikan karakter saat merekrut calon karyawan. Atau, jika karakter tidak menjadi kriteria utama, maka bangunlah suatu budaya yang menyatukan semua orang yang ada di dalamnya.

Baca Juga:   Sistem Pembayaran Digital Bukan Lagi Pilihan, Tapi Keharusan
Fenomena Quiet Quitting Menjadi Hal Biasa

Trend ini tidak hanya terjadi di lingkungan kerja, namun juga dalam hubungan. Orang bisa saja  mengakhiri sebuah hubungan, baik hubungan pribadi atau bisnis, secara tidak langsung. Sebagai dampak dari fenomena ini, muncul sebuah trend baru, yakni quiet firing. Ketika situasinya semakin memburuk, maka kedua fenomena ini akan bertemu.

Di setiap lingkungan kerja, sebagian karyawan terlibat sangat aktif, sebagian lagi menyisih, dan sisanya menjadi quiet quitter. Mereka tetap bertahan karena butuh, namun tidak melakukannya secara penuh. Meskipun trend ini mungkin terlihat aneh, anda mungkin memahaminya, karena anda merasakan sendiri atau melihat seseorang dalam kondisi yang sama. Sungguh menyedihkan, kondisi ini sebenarnya tidak asing lagi.

Jika ingin mengakhiri siklus fenomena quiet quitting ini, maka temukanlah sesuatu yang anda nikmati dan bisa memuaskan anda. Jangan berlagak betah, padahal anda bekerja minimal. Temukan apa yang anda sukai dan lakukan dengan sepenuh hati. Keluarlah dari kondisi yang tidak nyaman tersebut. Lakukan sesuatu yang membuat anda merasa lebih hidup. Jika anda seorang pengusaha, maka cobalah membuat karyawan anda merasa senang, merasa dijaga, dan berikan mereka ruang untuk menikmati kesenangan sendiri.

Tagged With :

Leave a Comment