Imbas Perang Dagang AS-China Memanas, Wall Street Anjlok

Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street anjlok pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Perang dagang AS-China yang memanas ditambah pernyataan Presiden Trump yang meminta sejumlah perusahaan di AS mencari alternatif bisnis di luar Beijing, membuat ketiga saham acuan turun.

Dilansir Reuters, Senin (26/8), Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 623,34 poin atau 2,37 persen menjadi 25.628,9, indeks S&P 500 (SPX) kehilangan 75,84 poin atau 2,59 persen menjadi 2.847,11, dan Nasdaq Composite (IXIC) turun 239,62 poin atau 3 persen menjadi 7.751,77.

Akibat eskalasi dagang yang memanas, para investor global melakukan aksi jual. Hal ini berdampak pada saham perusahaan yang memiliki hubungan dengan China, seperti Intel Corp dan Apple Inc yang masing-masing anjlok 3,9 persen dan 4,6 persen.

Pidato Ketua Federal Reserve Jerome Powell juga menjadi perhatian publik. Powell menegaskan, bank sentral AS tetap berkomitmen membuat kebijakan moneter yang mendukung perekonomian, namun tak lagi berkomitmen untuk melakukan serangkaian pemotongan suku bunga secara cepat.

Trump pun kembali bereaksi usai pidato Powell tersebut. Ia bahkan menyebut Powell sebagai musuh.

“(Trump) tampaknya marah bahwa China bereaksi terhadap apa yang telah dilakukan AS dan pada dasarnya memiliki amukan dan marah pada semua orang. Dia marah pada China, dia mencoba menyalahkan pasar dan ekonomi pada Powell,” kata David Katz, Kepala Investasi di Matrix Asset Advisors di New York.

Bernard Baumohl, Direktur Pelaksana dan Kepala Ekonom Global di Economic Outlook Group di Princeton, berpendapat bahwa penurunan suku bunga hingga 50 basis poin (bps) pun tak akan mampu menyelamatkan ekonomi.

“Kebodohan terbesar adalah keyakinan bahwa menurunkan suku bunga sebesar 25 atau 50 bps akan menghidupkan kembali perekonomian. Jangan minta Federal Reserve untuk menyelamatkan ekonomi, karena mereka tidak akan mampu melakukannya saat ini,” kata Baumohl.

Perselisihan dagang AS dan China kembali meningkat setelah Beijing menyatakan akan memberlakukan tarif 5 persen dan 10 persen pada hampir semua produk impor AS. Tak hanya itu, China juga berencana menaikkan tarif pada beberapa produk AS yang sebelumnya telah dikenakan bea masuk.

Tindakan balasan China itu berlaku pada produk pertanian, mobil, pakaian, bahan kimia dan tekstil AS dengan total USD 75 miliar atau sekitar Rp 1,06 triliun (kurs Rp 14.200). Adapun rencana pemberlakuan tarif itu akan dilaksanakan pada 1 September dan 15 Desember mendatang.

Akibat hal itu, imbal hasil surat utang pemerintah AS atau US Treasury selama 2 tahun dan 10 tahun memasuki wilayah inversi (berbalik), mengindikasikan adanya resesi.

Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Semua sektor utama dalam S&P 500 mengakhiri sesi di wilayah negatif. Energi dan teknologi mengalami penurunan persentase terbesar, keduanya merosot lebih dari 3 persen.

Pembuat chip Philadelphia SE Semiconductor turun 4,4 persen. Sementara ritel Foot Locker Inc anjlok 18,9 persen karena hasil kuartal II yang mengecewakan.

Saham perusahaan perangkat keras komputer, HP Inc, anjlok 5,9 persen setelah mengumumkan kepergian Chief Executive Officer Dion Weisler dan memperkirakan laba kuartal IV lebih rendah dari perkiraan.

Volume perdagangan di Wall Street mencapai 8,07 miliar saham, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata 7,58 miliar selama 20 hari perdagangan terakhir.

 

Leave a Comment