Budaya Kerja Organisasi Memburuk Saat Bekerja Dari Rumah? – Part 1

Menurut sejumlah studi, bekerja dari rumah semestinya dapat menurunkan budaya kerja yang tidak sehat (toksisitas). Namun faktanya, budaya kerja yang tidak berfungsi dengan baik justru bisa memburuk, saat karyawan bekerja dari rumah. Seorang penulis konten asal Prague bernama Nikolina mengatakan bahwa ketika mereka harus bekerja di rumah di awal Tahun 2020, saat pandemi menyerang dunia, ia berharap bahwa budaya kerja organisasi yang tidak sehat akan membaik.

Awalnya, kita mungkin merasa kalau tingkat stress di tempat kerja akan berkurang saat boss tidak memantau semua gerakan kita secara langsung. Namun, kita salah. Pada kasus Nikolina, ternyata atasannya mendapatkan cara-cara baru untuk memantau tim secara virtual, dengan menggunakan software seperti Hubstaff atau TeamViewer.

budaya kerja organisasi

Budaya Kerja Organisasi Yang Buruk Akan Memburuk?

Bahkan, ketika atasan tidak siap dengan konsekuensi dari bekerja dari rumah, segala sesuatunya bisa memburuk. Bisa jadi, atasan justru lebih stress karena karyawan tidak berada di sekitarnya. Akibatnya, sebagian bertindak obsesif, menerapkan manajement mikro, dan bahkan mencari hal-hal kecil untuk dikritik. Tingkat stress menjadi tinggi, karena karyawan tahu bahwa boss bisa jadi mengawasi mereka setiap saat.

Bagi anda yang bekerja di lingkungan kerja yang tidak sehat, pindah bekerja ke rumah mungkin dianggap sebagai kesempatan untuk menikmati momen menjauh dari lingkungan yang negatif. Namun, seperti pengalaman Nikolina di atas, dinamika kerja yang tidak menyenangkan bahkan bisa mengikuti kita hingga ke rumah, dan bahkan, bisa memburuk. Isolasi bahkan bisa memperburuk tantangan ketika bekerja dengan boss atau rekan kerja yang berperilaku buruk.

Bahaya Budaya Kerja Organisasi Yang Tidak Sehat

Budaya kerja organisasi yang tidak sehat dapat mempengaruhi kesejahteraan pegawai. Itulah sebabnya, sangat penting bagi kita untuk mengetahui cara-cara yang ada untuk melindungi diri. Terlebih dahulu, cobalah mengidentifikasi bentuk dari lingkungan kerja yang tidak sehat (toksik) tersebut. Bentuknya bisa berbeda-beda, namun biasanya ada kesamaan, yakni: keadaan negatif dan ancaman.

Menurut Aditya Jhain, seorang associate professior di Nottingham University, budaya kerja yang toksik adalah suatu lingkungan kerja, di mana para pekerja mengalami ancaman-ancaman psikososial. Di lingkungan seperti ini, karyawan tidak mendapatkan dukungan organisasi, hubungan interpersonal buruk, beban kerja tinggi, karyawan tidak bekerja mandiri, tidak ada sistem reward, dan jaminan kerja tidak ada.

Dampak dari budaya kerja seperti ini sangat luas. Di antaranya adalah dampak terhadap kesehatan fisik secara individu, seperti serangan jantung atau gangguan muskuloskeletal, kesehatan mental yang buruk, stress, tingkat kehadiran rendah, tingkat partisipasi, produktivitas, dan inovasi juga rendah.

Kebanyakan budaya kerja yang paling toksik berasal dari manajemen yang buruk. Kebiasaan-kebiasaan buruk di tingkat pimpinan bisa jadi menular ke bawahan. Jika para eksekutif terlibat dalam perilaku toksik, maka orang-orang di organisasi akan menganggap perilaku tersebut bisa diterima dan mereka akan ikut-ikutan. Tidak butuh waktu lama, iklim yang tidak sehat akan terbentuk, yakni ketika semua orang berfikir ‘seperti inilah cara bertindak di sini.’

Budaya Kerja Organisasi Yang Tidak Sehat Selama Pandemi

Sebelum pandemi, perilaku toksik ini biasanya terjadi pada seseorang, selama rapat, presentasi, atau interaksi kasual. Sekarang, budaya tersebut bisa terjadi saat menelpon atau mengiriman pesan. Meskipun anda berasumsi kalau jarak akan mengurangi ketegangan tersebut, para ahli justru menemukan sebaliknya, bahwa jarak justru dapat meningkatkan ketegangan.

Budaya kerja organisasi yang tidak sehat akan bertahan sekalipun karyawan bekerja berjauhan. Mungkin, anda kerap melihat perdebatan yang tidak sehat di chat Zoom atau email. Jarak justru bisa memperburuk perilaku negatif. Terkadang, lebih mudah mengirimkan pesan kasar atau penuh ancaman saat berjauhan dibanding saat berdekatan.

Menurut para ahli, kelelahan akibat pandemi juga menjadi faktor penyebab munculnya perilaku buruk. Tekanan psikologis bisa mendorong perilaku agresif di tempat kerja. Adakalanya, pantauan atasan dianggap lebih sebagai gangguan, bukan supervisi. Bayangkan jika atasan tiba-tiba menelpon tanpa alasan atau meminta anda share screen, atau meminta anda mencatat semua kegiatan anda dalam sehari. Setiap kali boss menemukan kalau aktivitas anda berkurang lebih dari 10 menit, maka anda diharuskan hadir di rapat Zoom atau TeamViewer.

Tim kerja akan menderita di bawah manajemen yang seperti ini. Akibatnya, karyawan akan merasa lelah setiap hari dan mengalami gangguan tidur di malam hari. Menurut para ahli, pimpinan yang memiliki sifat toksik seperti ini berbahaya dalam lingkungan kerja remote. Namun, banyak orang yang mengalami hal itu saat ini. Bahkan, perilaku toksik itu semakin sulit dikendalikan saat karyawan bekerja dari rumah. Akibatnya, karyawan kekurangan interaksi sosial, lelah secara emosional, dan tidak adanya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.

Untuk menghindari budaya kerja organisasi yang tidak sehat ini, andalah yang harus melindungi diri, di samping perusahaan juga harus mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasinya. Dapatkan pembahasannya secara rinci pada post berikutnya.

Tagged With :

Leave a Comment