Pekan ini, isu short-selling saham menjadi sorotan berbagai media dunia. Para investor ritel AS kabarnya berhasil mengalahkan aksi short-selling yang dilakukan oleh hedge funds besar, khususnya pada saham GameStop. Isu ini semakin santer lagi setelah Bursa Efek Indonesia (BEI) mengungkap wacana untuk membuka kembali short-selling saham. Apa sih short-selling itu, dan mengapa menjadi kontroversi besar?
Dalam investasi biasa, kita membeli saham dengan harapan harganya akan meningkat. Pembelian saham dengan ekspektasi harga akan naik itu disebut juga dengan istilah “membuka posisi long”. Kebalikannya, ada pula posisi short di mana kita mengantisipasi harga akan turun. Pada prinsipnya, short-selling adalah menjual saham yang belum dimiliki.
Contohnya jika seorang investor memperkirakan harga saham Facebook (FB) akan turun dari $280 per lembar, ia akan “meminjam” 10 lembar saham FB dari brokernya. Sang broker akan “menjual” saham FB kepada sang investor pada harga pasar $280. Apabila saham FB turun ke $200, investor akan meraup profit $80 per lembar saham atau total $800. Tapi, bagaimana jika harga saham FB ternyata naik?
Dalam investasi biasa, kita hanya menanggung risiko dalam jumlah setara dengan nilai pembelian saham awal kita. Pada contoh tadi, kalau investor membeli saham (bukannya short-selling), tanggungan risiko kita maksimum hanya $280*10=$2800. Seberapa pun jauhnya harga saham jatuh, tidak mungkin lebih rendah dari $0. Seandainya harga saham jatuh ke $10 sekalipun, kita bisa tetap hold saham ini tanpa batas waktu.
Sebaliknya, kenaikan harga setelah short-selling yang gagal itu bisa berlangsung terus-menerus hingga tidak terbatas. Umpama harga saham FB tadi bukannya jatuh ke bawah $280, melainkan naik ke $380, maka investor akan rugi $100 per lembar atau total $1000. Broker tentunya juga tidak memberikan pinjaman tanpa batas, sehingga sang investor akhirnya akan terpaksa “membeli” saham yang di-short-selling itu sesuai dengan harga berapa pun yang berlaku di pasar saat batas “pinjaman broker” habis.
Mayoritas pelaku short-selling merupakan hedge funds dan investor institusional, karena investor harus memenuhi kualifikasi tertentu sebelum diperbolehkan untuk melaksanakan short-selling. Mereka melakukan short-selling untuk tujuan hedging ataupun spekulasi. Meski demikian, mereka yang notabene lebih berpengalaman daripada investor receh seperti kita pun tetap menanggung risiko lebih besar dalam short-selling daripada investasi beli saham biasa.
Mari tengok kasus saham GameStop yang sedang marak. Beberapa hedge funds AS memasang posisi short-selling pada saham ini karena menganggap masa depan perusahaan sudah suram akibat kehilangan daya saingnya. Tapi para investor ritel menggalang koalisi untuk menaikkan harga saham GameStop sedemikian rupa, sehingga hedge funds terpaksa membelinya dengan kondisi harga sudah naik ratusan persen. Nilai kerugian hedge funds dalam kasus ini bahkan mencapai miliaran dolar AS.
Bursa Efek Indonesia (BEI) sebenarnya juga pernah memperbolehkan short-selling terbatas untuk saham-saham tertentu. Namun, short-selling dihentikan sementara mulai 2 Maret 2020 lantaran tumbangnya pasar saham. Dengan demikian, short-selling kemungkinan akan diselenggarakan lagi oleh BEI setelah gejolak pasar akibat COVID-19 sudah mereda.
Perlukah kita khawatir pada efek short-selling di BEI? Patut untuk dipahami bahwa ketentuan short-selling di setiap bursa berbeda-beda. Untuk mengukur proyeksi dampak positif maupun negatif, kita perlu meninjau terlebih dahulu ketentuan short-selling yang akan diberlakukan BEI kelak.
Tagged With : investasi • saham