Komunitas non-tunai bukanlah suatu lingkungan di mana uang tunai tidak dibenarkan. Namun, di lingkungan ini, uang tunai dinilai tidak relevan. Pembahasan tentang sistem pembayaran non tunai ini semakin marak setelah terjadinya pandemi covid-19, di mana semua pihak berupaya semaksimal mungkin untuk mengurangi kontak fisik, termasuk pembayaran dengan sistem gesek atau kartu.
Sebenarnya, telaahan terhadap data statistik global terkait menurunnya penggunaan uang kertas dan koin memudahkan kita untuk memprediksi bahwa banyak negara akan memberlakukan sistem pembayaran non tunai dalam waktu dekat. Namun, apa sesungguhnya makna di balik sistem ini? Apakah akan muncul sebuah masyarakat non-tunai? Pertanyaan ini tidaklah mudah dijawab dengan sekedar “Ya” atau “Tidak.”
Sistem Pembayaran Non Tunai: Apa Maknanya?
Bagi yang menjawab “Ya” atas pertanyaan di atas tidaklah serta merta menganggap kalau akan ada suatu komunitas atau masyarakat yang tidak akan menggunakan uang tunai sama sekali. Tidak demikian. Uang tunai akan tetap beredar dan masih menjadi alat tukar yang legal, namun uang tunai secara perlahan akan berkurang dari komunitas tertentu dan dari kehidupan masyarakat di dalamnya. Mereka akan segera beralih ke kartu debit atau sistem pembayaran mobile. Uang tunai tetap ada, namun perannya tidak lagi terlalu penting. Bahkan, peralihan ini diperkirakan akan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Jadi, sebenarnya yang dimaksud dengan komunitas non-tunai adalah generasi di mana uang tunai tidak lagi menganggapnya relevan dengan kebijakan moner, tidak lagi relevan bagi banyak orang, dan tidak lagi banyak digunakan dalam transaksi bisnis. Jika dilihat ke masa depan, kita bisa mulai bertanya apakah perkembangan dalam teknologi sistem pembayaran digital dan perubahan dalam sistem pembayaran, serta regulasi perbandingan, akan membawa kita ke generasi non-tunai ini.
Mungkin, tidak akan ada perbedaan generasi dalam hal ini. Semua orang semakin dekat dengan sistem pembayaran non tunai. Misalkan anda tinggal di Amsterdam, anda tidak lagi membutuhkan uang tunai untuk membayar ongkos kereta apa. Atau, jika anda tinggal di London, anda tidak lagi membutuhkan uang tunai untuk minum di kedai kopi. Tidak ada yang merencanakan atau mengelola hal ini, namun semuanya terjadi begitu saja.
Namun, karena sistem ini sudah ada, maka semestinya ada sistem manajemen aktif untuk mengelolanya. Manajemen aktif berarti bahwa kita membutuhkan suatu strategi untuk menangani sistem pembayaran non tunai ini, bukan hanya sekedar menerima saja. Sistem ini sepertinya akan menguntungkan bagi kaum mayoritas, namun apakah ini juga akan memarjinalkan kelompok atau segmen penduduk tertentu?
Sistem Pembayaran Non Tunai: Adilkah untuk Semua?
Sebuah survey terbaru di United Kingdom menemukan bahwa lebih adri 75% rumah tangga berpenghasilan rendah, dan lebih dari 80% rumah tangga dengan kepala keluarga lansia, masih mengandalkan uang tunai untuk transaksi. Peralihan ke sistem non-tunai harus direncanakan dengan baik untuk membantu kelompok ini, jadi mereka juga mendapatkan keuntungan dari sistem pembayaran non tunai tersebut. Jika tidak direncakan dengan baik, maka segmen penduduk tersebut akan semakin tersisih dan tidak bisa menikmati sistem yang baru.
Tentunya, di beberapa negara seperti Indonesia, tidaklah mudah untuk memberlakukan sistem non-tunai ini secara universal. Pada kenyatannya, banyak penduduk di daerah-daerah terpencil bahkan belum memiliki rekening bank dan tidak menikmati jaringan telekomunikasi dan internet yang layak. Jika ingin beralih ke sistem non-tunai, investasi pemerintah yang terbesar adalah menyediakan infrastruktur telekomunikasi, layanan perbankan, dan sosialisasi yang menjangkau hingga ke pelosok terjauh. Tentunya, ini sebuah bukanlah pekerjaan yang sederhana.
Tidak semua orang di negara ini telah menjadi bagian adri revolusi mata uang digital. Bahkan, di negara-negara besar seperti Cina sekalipun, masih banyak penduduknya yang belum mengetahui, apalagi memanfaatkan, revolusi tersebut. Database Global Findex dari Bank Dunia bahkan memperkirakan bahwa sekitar 200 juta penduduk di kawasan pedesaan Cina belum mendapatkan layanan perbankan, atau masih berada di luar sistem keuangan formal.
Hal yang sama juga terjadi di Swedia. Peralihan ke sistem pembayaran non-tunai memicu masalah terkait eksklusi dan marjinalisasi. Misalnya, ada supermarket yang menyediakan jalur antrian terpisah untuk pengguna sistem non-tunai dan untuk mereka yang membayar dengan uang tunai. Hal ini dipandang sebagai wujud dari stratifikasi sosial antara yang tua dan muda, dan antara kelas menengah ke atas dengan kelas menengah ke bawah. Artinya, bahkan di negara-negara maju sekalipun, hal yang sama akan terjadi ketika uang tunai menghilang dari kehidupan masyarakat.
Namun, bukan berarti bahwa penggunaan uang tunai harus tetap dipaksanakan, sekalipun semua pihak menyadari bahwa penggunaannya mahal, tidak efisien, dan tidak nyaman. Bahkan di tengah pandemi seperti sekarang ini, sistem pembayaran tunai justru meningkatkan resiko penularan virus. Peralihan ke sistem pembayaran non tunai akan tetap terjadi, namun harus melalui perencanaan yang matang dan dilaksanakan secara inklusif.
Tagged With : keuangan • layanan keuangan • manajemen keuangan