Bullying di Tempat Kerja: Fenomena Baru dalam Sistem Kerja Hybrid – Part 2

Pada post sebelumnya dibahas bahwa bullying di tempat kerja belumlah berakhir. Bahkan, peralihan ke sistem kerja hybrid turut mempengaruhi munculnya fenomena baru bullying secara virtual. Sayangnya, maksud pelaku kerap tidak terdeteksi dan tidak disadari oleh objeknya. Seperti kasus Joyce yang dibahas pada post sebelumnya, ia nyaris tidak menyadari bahwa atasannya sedang melakukan bullying kepadanya, dengan cara-cara yang berbeda dari bullying tradisional, karena tidak ada kontak fisik yang terjadi.

Menurut riset yang dilakukan oleh Workplace Bullying Institute, 35% responden mengaku bahwa bullying jarak jauh terjadi melalui video call, sehingga ekspresi wajah terlihat kentara dengan penggunaan teknologi. Bullying jarak jauh di depan teman-teman tidak hanya memalukan, namun juga semakin membuat seseorang merasa jauh dari rekan kerja lainnya. Saat bertatap muka, teman lain mungkin akan ikut campur untuk menghentikan bullying tersebut dan mendukung korban, atau berdebat dengan pelaku. Namun, bullying yang terjadi secara virtual justru lebih sulit dideteksi dan diatasi.

bullying di tempat kerja 2

Bullying di Tempat Kerja dan Perkembangan Teknologi

Bullying di tempat kerja yang berlatar hybrid atau murni digital cenderung lebih sulit diatasi, karena sejumlah alasan, antara lain:

Lebih Sulit Dideteksi

Faktanya, teman kerja yang juga bekerja jarak jauh bahkan tidak menyadari adanya masalah, sehingga mereka tidak bisa membantu. Perilaku bullying cenderung tidak terdeteksi di lingkungan kerja digital. Di lingkungan digital, mudah saja bagi seorang atasan untuk tidak mengikutkan seseorang pada rapat-rapat penting atau menyimpan informasi penting, dan karyawan lain cenderung tidak menyadarinya. Sulit untuk mengetahui apakah ada seorang rekan kerja yang sedang tertekan atau tidak.

Tidak Adanya Intervensi

Ketika seseorang merasa menjadi korban bullying dan merasa tidak ada yang membantunya, maka mereka akan cenderung merasa bahwa teman-temannya mendukung perilaku tersebut, meskipun faktanya tidak demikian. Setelah terjadinya sebuah insiden, lingkungan kerja digital tidak memberi peluang besar bagi sesama rekan kerja untuk membahas apa yang sedang terjadi. Akibatnya bisa jadi merusak. Korban akan merasa semakin terasing.

Memicu Kesalahpahaman

Seperti dibahas di atas, rasa tersisih saat bekerja jarak jauh bisa mengubah cara pandang seorang pekerja terhadap perilaku rekan kerjanya. Akibatnya, mereka merasa semakin terasing. Sebuah studi terhadap 1.100 orang pekerja jarak jauh menunjukkan bahwa pekerja cenderung melaporkan bahwa mereka dibiarkan, dijadikan bahan gosip, dan bahkan diadu satu sama lain saat mereka bekerja dari rumah. Mereka juga melaporkan bahwa ketika terjadi konflik antar sesama rekan kerja, maka akan lebih sulit diselesaikan.

Tanpa kontak fisik dan komunikasi langsung, sistem kerja jarak jauh memberi ruang interpretasi yang berbeda terhadap pesan-pesan sederhana sekalipun. Dalam konteks digital, kita cenderung bebas menginterpretasikan nada bicara seseorang. Akibatnya, mereka mulai mempertanyakan perihal rasa memiliki, apakah mereka sedang di-bully atau apakah hal itu terjadi dengan sengaja atau tidak. Area abu-abu semacam ini bisa jadi sangat memusingkan bagi pekerja.

Menurunkan Produktivitas

Secara umum, bullying di tempat kerja menyebabkan rasa cemas, depresi, hingga penurunan produktivitas. Namun, ada karakteristik tertentu dari cyber bullying yang bisa membuatnya lebih merusak daripada bullying face-to-face. Di lingkungan digital, karyawan bisa saja hadir 24 jam sehari, 7 hari seminggu (24/7) dan menggunakan media sosial secara ekstensif. Sebelumnya, anda bisa pulang dari kantor dan kemudian beristirahat tanpa memikirkan pekerjaan. Namun saat ini, kondisinya tidak lagi sama.

Bagaimana Mengatasi Bullying di Tempat Kerja

Sebelum pandemi, pihak yang berpeluang melakukan bullying di tempat kerja adalah para manajer, yang menurut studi CIPD menyumbang lebih 40% dari kasus bullying. Pada Tahun 2021, survey yang dilakukan oleh Workplace Bullying Institute menemukan bahwa hal yang sama terjadi untuk sistem kerja jarak jauh. Ternyata, para manajer menyumbang 47% kasus bullying di tempat kerja. Terkait dengan hal tersebut, beberapa hal berikut dapat menjadi pertimbangan jika ingin mengatasi bullying di lingkungan kerja:

Bermula dari Para Pemimpin

Para boss di semua level juga berpengaruh besar terhadap perilaku organisasi dalam menghadapi kasus bullying. Salah satu hal pokok yang ditekankan oleh riset tersebut adalah peran pemimpin sebagai contoh teladan perilaku yang baik. Jika para boss bertekad kuat untuk mengatasi bullying di tempat kerja, maka besar kemungkinan kasus bullying bisa ditekan. Demikian sebaliknya.

Tersedianya Sistem

Sama halnya dengan para manajer, organisasi secara keseluruhan bertanggung jawab untuk memastikan adanya struktur untuk mengatasi bullying jarak jauh. Misalnya, dibutuhkan jalur yang jelas bagi karyawan untuk melaporkan kasus bullying dan memastikan bahwa kasus tersebut ditangani dengan benar, terutama jika pelakunya adalah para pemimpin. Untuk itu, dibutuhkan sebuah pendekatan yang proaktif dan pemahaman yang lebih mendalam tentang terjadinya bullying di lingkungan kerja digital.

Bagi para pekerja yang berada di lingkungan kerja di mana bullying menjadi sebuah isu penting, opsinya adalah melaporkan kasus tersebut ke departemen SDM. Dibutuhkan keberanian lebih, terutama jika pelakunya adalah seorang pemimpin (boss). Meskipun awalnya sulit, namun harus ada yang dilakukan, sehingga masalah-masalah bullying bisa diatasi segera.

Tagged With :

Leave a Comment