Bisnis E-Commerce dan Masa Depan Perusahaan Retail

Jika masa depan industri retail berbentuk bisnis e-commerce, maka sebagian besar usaha retail akan mengalami masalah. Jika biaya menjual barang menjadi lebih besar, maka anda akan kehabisan uang. Tidak ada yang mendapatkan uang karena berbelanja online – setidaknya belum untuk saat ini. Pandemi covid-19 telah mengikat tangan banyak pengusaha retail dan pemilik brand, karena mereka harus memperluas penawaran produk secara online dengan harapan bisa mendapatkan penjualan. Namun sayangnya, model-model ekonomi ternyata tidak berubah hanya karena kita sedang mengalami pandemi.

Bisnis e-Commerce dan Nasib Pengusaha Retail

Seperti diketahui, semakin banyak merchant atau pengusaha retail yang menawarkan produk dengan layanan gratis ongkos kirim. Persaingan dalam layanan pengiriman ini semakin menguruskan margin keuntungan bagi retailer kecil, karena retailer-retailer besar justru menyedot biaya-biaya tersebut. Beberapa waktu yang lalu, Reuter mengeluarkan sebuah cerita yang mengutip data terbaru dari  RSR Research. Menurut riset ini, pesanan online membuat pengusaha retail mengeluarkan biaya 10-15% lebih besar daripada pembelian di toko, di mana pembeli bisa memilih-milih barang dan langsung membawanya pulang.

bisnis e-commerce

Pada bulan Januari (sebelum pandemi dimulai), Walmart melaporkan bahwa meski pertumbuhannya dari tahun ke tahun cukup kuat, unit e-commerce milik perusahaan ini sebenarnya tidaklah cukup menguntungkan. Bahkan, perusahaan retail ini meramalkan kerugian lebih dari $1 milyar pada  sektor usaha digital berbasis e-commerce di Amerika Serikat. Sejalan dengan itu, tahun lalu Digital Commerce 360 melaporkan bahwa bahkan Amazon juga tidak mendapatkan cukup uang dari usaha retailnya. Artinya, semua pendapatan netto yang dilaporkan pada Tahun 2018 sebesar $10.03 milyar sepertinya berasal dari unit layanan cloud computing di Amazon Web Services, serta dari unit bisnisnya yang sedang berkembang, yakni menjual iklan di Amazon.com.

Akibat pandemi covid-19, industri e-commerce saat ini sedang mengalami adopsi online yang jauh lebih cepat. Kita juga sudah melihat dampaknya secara nyata, yakni kanibalisasi keuntungan in-store (yang didapatkan dari transaksi langsung di toko), sehingga para pengusaha retail mendapatkan margin yang lebih kecil. Sebagai contoh, Target, yang masih tetap buka di awal-awal pandemi, melaporkan bahwa margin laba brutonya turun 450 point di kwartal pertama tahun ini, padahal penjualan digitalnya naik 141 persen.

Sebenarnya hal ini sudah diprediksi para ahli sebelumnya. Ernie Herman (CEO TJX) yakin bahwa bisnis e-commerce bukanlah jalur yang menguntungkan untuk menghadapi dampak Covid-19. Tidak berbeda jauh dari perusahaan retail lainnya, Nike juga melaporkan bahwa meskipun penjualan digitalnya naik 75 persen (mewakili 30% dari total pendapatannya), biaya yang harus dikeluarkan untuk pengiriman menimbulkan tekanan yang besar terhadap laba perusahaan. Margin keuntungan Nike selama triwulan pertama tahun ini merosot 37,3 persen dari 45,5 persen satu tahun yang lalu. Bahkan, Nike juga mulai mengumumkan PHK sejumlah karyawannya.

Strategi Bertahan di Tengah Krisis bagi Bisnis e-Commerce

Agar sukses dengan bisnis e-commerce di tengah pandemi ini, pengusaha retail dan brand harus memiliki sudut pandang tentang produk yang mereka tawarkan di saluran e-commerce, siapa konsumen mereka, dan apa yang sedang mereka cari. Walmart telah membangun brand dan bisnisnya untuk menemukan cara-cara kreatif meningkatkan margin keuntungan, namun tetap menjaga agar harga produk tetap rendah. Mereka juga memiliki toko dan saluran yang membuat mereka tahu apa yang diinginkan konsumen. Kemudian, mereka akan berinvestasi pada aspek-aspek yang membuat mereka kuat.

Menurut para analist dari Telsey Advisory Group yakin bahwa Walmart akan tetap menguasai pangsa pasar tahun ini dan beberapa tahun ke depan. Itu adalah hasil dari keputusannya untuk berinvestasi pada operasi bisnisnya, baik bisnis online maupun offline. Dalam sebuah interview bulan Mei yang lalu, CEO Walmart – Douh McMillon – mengaku bahwa perusahaan sedang mempertimbangkan untuk menambahkan kategori produk, seperti rumah dan fashion.

Sebagai perbandingan, Target justru lebih memfokuskan perhatian pada penyortiran dan pengemasan produk, di mana perusahaan bisa menghemat pengeluarannya. Pihak Target pernah mengatakan bahwa biaya rantai pasok dan kehadiran secara digital adalah faktor utama yang menekan margin keuntungan perusahaan dalam kwartal terakhir. Perusahaan retail ini percaya bahwa pemenuhan kebutuhan konsumen adalah jalur yang tepat untuk memperkuat loyalitas konsumen maupun aspek ekonomi perusahaan.

Menurut pengalaman perusahaan ini, pilihan untuk memenuhi kebutuhan konsumen berperan memperkuat basis konsumen Target. Perusahaan berkomitmen untuk membangun relevansi dengan konsumen secara total. Meski demikian, banyak pihak menilai bahwa Target belum melakukan semua hal yang dibutuhkan untuk memahami konsumennya serta apa yang ingin mereka lakukan. Hingga perusahaan bisa mengenali konsumennya sendiri, maka Target tidak akan mampu mengarahkan daya upayanya secara efektif.

Sejumlah riset juga menemukan bahwa banyak kebijakan-kebijakan di bisnis e-commerce itu sebenarnya tidak penting dan tidak relevan. Misalnya adalah diskon besar-besaran. Tidak semua konsumen menganggapnya sebagai pendorong untuk berkunjung ke sebuah toko online. Konsumen mungkin saja mau membayar lebih mahal untuk produk yang memang mereka butuhkan dan mereka inginkan.

Tagged With :

Leave a Comment